Kita semua pasti merasakan resah dan gelisah melihat kenyataan banyaknya penyimpangan perilaku berbagai kalangan, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, konflik, pornografi, mengonsumsi obat terlarang, dan bahkan juga teror dengan menggunakan bom. Anehnya, perilaku yang menyimpang dan merusak tatanan sosial itu dilakukan oleh berbagai kalangan, mulai darti lapisan bawah hingga lapisan atas.
Perilaku menyimpang ini tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, anak-anak usia sekolah mulai dari Sekolah Dasar sampai perguruan tinggi, acap kali sering kita dengar dan saksikan di sekitar kita, di tetangga kita, di koran, bahkan di tayangan televisi hampir setiap hari kita disuguhi berita perilaku yang menyimpang.
Yang lebih menyedihkan lagi beberapa tahun terakhir ini lembaga pemasyarakatan agak kewalahan karena daya tampung LAPAS tidak mampu memenuhi pandatang baru. Bahkan ada kecenderungan semakin over load. Kita bisa lihat di LAPAS Tasikmalaya yang kapasitasnya (http://www.pikiran-rakyat.com/node/138637) hanya 150 orang, harus dipaksakan diisi 416 penghuni. Ini baru di kota kecil seperti Tasikmalaya belum lagi di kota-kota Besar.
Kalau sekitar tahun 1970 an waktu saya masih SD, kebetulan kantor polisi tidak jauh dari tempat saya bermain, kadang-kadang iseng melihat penghuni di tahanan kantor polisi, hampir semua penghuni sudah berusia dewasa dan kondisi ekonomi dalam keadaan miskin. Kita bisa berasumsi bahwa tahanan 40 tahun yang lalu melakukan penyimpangan karena alasan ekonomi, karena perut yang kosong, karena demi kebutuhan sehari-hari.
Kini penghuni penjara tidak hanya orang dewasa, anak usia remaja makin banyak saja jumlahnya, alasan kejahatan tidak lagi didominasi sebab ekonomi, namun sudah bergeser karena alasan profesi.
Sungguh prihatin melihat perkembangan generasi kita dari tahun ke tahun, sehingga seharusnya kita tertantang untuk membuat suatu pengamatan untuk mengetahui akar pemasalahannya.
Jika kita amati selama 20 tahun terakhir terhadap para pelajar dan para lulusan sekolah di tiap jenjang mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, dan ternyata dari tahun-ke tahun menunjukkan suatu peningkatan grafik jumlah anak-anak yang bermasalah ketimbang anak-anak yang berhasil.
Ini jelas fenomena yang perlu segera disikapi oleh semua pihak, tidak hanya pemerintah, kita semua harus berbuat sesuatu. Kita harus segera mencari akar permasalahan ini. Apakah karena kurangnya harmonisasi dalam keluarga atau kesalahan dalam sistem pendidikan kita atau amburadulnya sistem politik kita ?
Benarkah anak-anak yang bermasalah berasal dari keluarga yang berantakan? penuh masalah juga ? Benarkah sekolah sekolah kita mampu mengatasi anak-anak bermasalah ? Kebanyakan sekolah di lingkungan kita akan menolak anak-anak yang bermasalah, bahkan akan mengeluarkan dari sekolah jika membuat masalah. Kebanyakan sekolah sekolah kita tidak mampu menjadi jalan keluar bagi anak-anak yang bermasalah.
Sekolah yang mestinya bertanggung jawab pada pendidikan anak (kerena mengklaim sebagai lembaga pendidikan) ternyata hanya menjadi lembaga Penerbit Ijasah yang memaksa anak untuk mengikuti kurikulum yang kaku dan sudah ketinggalan zaman. Guru-guru yang diharapkan menjadi pengganti orang tua yang bermasalah tapi ternyata tidaklah lebih baik dari pada orang tua si anak yang bermasalah tadi.
Guru-guru lebih suka memberikan pelajaran dari pada mendidik dan melakukan pendekatan psikologis untuk bisa membantu memecahkan masalah anak-anak muridnya. Guru-guru juga lebih suka saling melempar tanggungjawab ketimbang merasa ikut bertanggung jawab terhadap anak yang katanya bermasalah.
Beberapa tahun yang lalu banyak masyarakat yang berpandangan jika punya anak yang bermasalah akan dipondok pesantrenkan, dititipkan kepada Kyai. Mengirim anak ke Pondok Pesantren dianggap sebagai hukuman bagi anak, karena dianggap nakal.
Kini trend orang tua siswa sudah jauh berbeda dibanding yang dulu. Menitipkan pendidikan anak di pondok pesantren adalah sebuah pilihan. Pilihan yang harus dilakukan karena tanggung jawab orang tua terhadap masa depan anak-anaknya. Orang tua menganggap pendidikan di pondok pesantren mampu mengantarkan anak memiliki karakter yang kuat, jiwa kemandirian, tirakat, serta ajaran toleransi dan kebersamaan.
Kini pondok pesantren tidak hanya mendidik santri mempelajari hal-hal yang bersifat keagamaan (tafakku fiddin), namun santri yang sekaligus siswa mendapatkan ilmu umum (tafaku fiddun_ya). Beberapa Pondok Pesantren kini melebarkan sayap tidak hanya terpaku mengembangkan ilmu salaf.
Pondok Pesantren kini juga membuka kelas SD, SMP, SMA dengan kurikulum Kemendiknas. Seperti yang dilakukan oleh sebagian besar pondok pesantren di Pulau Jawa. Bahkan akhir-akhir ini banyak pondok pesantren membuka SMK dengan berbagai jurusan, karena desakan wali santri.